Gempa bumi dan tsunami dahsyat di Jepang, yang terjadi pada 11 Maret lalu, diperkirakan merupakan bencana alam paling mahal.
Seperti dilaporkan CNN, bank sentral Jepang mengumumkan rencana menyuntikkan dana segar 15 triliun yen atau sekitar Rp1.670 triliun ke sistem keuangan untuk meyakinkan investor global dan stabilisasi pasar keuangan.
Bank of Japan juga telah mengalokasikan 5 triliun yen atau sekitar Rp556 triliun untuk pembelian aset berisiko. Pembelian ini untuk meningkatkan kepercayaan pasar saat terguncang bencana.
Namun, pasar Jepang tetap menurun tajam. Pada Senin, hari perdagangan saham pertama sejak bencana, Indeks Nikkei 225 turun lebih dari 6,2 persen. Penurunan tersebut, terbesar sejak Desember 2008, saat krisis keuangan terjadi.
Menurut CNN, bencana datang pada waktu yang sulit, saat perekonomian Jepang rapuh. Perekonomian Jepang merosot menjadi terbesar ketiga di dunia setelah China pada 2010.
Bisnis Jepang yang sebagian besar ekspor tengah dilanda krisis keuangan. Mata uang yen terus menguat, sehingga keuntungan perusahaan-perusahaan dalam negeri terus merosot.
Pembangunan kembali dari gempa juga akan menambah beban utang Jepang. Lembaga pemeringkat, S&P, menurunkan peringkat kredit jangka panjang Jepang di bulan Januari, menyusul besarnya defisit fiskal negara tersebut.
Kerugian bencana ditaksir bisa mencapai US$100 miliar atau sekitar Rp900 triliun, termasuk US$20 miliar kerusakan perumahan dan US$40 miliar kerusakan infrastruktur seperti jalan, rel, dan fasilitas pelabuhan, demikian perkiraan CNNMoney.
Kerugian asuransi diperkirakan dapat mencapai US$15 miliar dan US$35 miliar dari gempa bumi saja. "Ini tidak memperkirakan kerugian dari tsunami atau kerusakan pada pembangkit nuklir Fukushima Daiichi," tulis CNNMoney.
Barclay's Capital melaporkan, jika klaim semuanya datang, biaya bencana Jepang bisa melebihi semua bencana alam lainnya, kecuali Badai Katrina yang terjadi pada 2005. "Kerugian industri asuransi saat Badai Katrina mencapai US$45 miliar."
• VIVAnews