MENCARI JALAN MENGGAPAI HARAPAN
Cerita kesejahteraan guru di negeri kita yang dari dulu kurang mendapat perhatian pemerintah mungkin kita sudah bosan mendengarnya. Cerita itu mungkin hampir bersamaan “basinya” dengan predikat yang selalu menempel kepada para guru yaitu “pahlawan tanpa tanda jasa”. Namun demikian, cerita usang dan predikat yang selalu digembar-gemborkan yang bagaikan kalimat tanpa makna itu ternyata tidak menggoyahkan beberapa insan pendidik yang menjadi narasumber Kick Andy kali ini. Para guru yang menjadi narasumber kali ini tidak hanya mengajar muridnya dengan sepenuh hati. Mereka bahkan mencari jalan dengan berbagai cara agar anak didiknya mudah menerima apa yang mereka ajarkan. Sepasang suami isteri dari Desa Diwek, Kabupeten Jombang, Jawa Timur misalnya. Mereka menciptakan suatu cara atau metode agar si anak didik mudah menghafal peristiwa atau nama-nama tempat bersejarah di dunia. Metode yang diberi nama Hanifida, singkatan dari nama pasangan suami istri, Hanifudin Mahadun dan Khoirotul Idawati atau Ida. Metode Hanifida menurut mereka adalah memberdayakan otak kiri dan otak kanan. “Anak akan susah menangkap jika melihat angka satu. Tapi dengan metode Hanifida, angka satu sama dengan ikan teri, angka dua sama dengan bebek dan seterusnya,”ujar suami istri itu.Hanifida, menurut mereka adalah jalan, atau cara anak didik mudah mengingat sesuatu. Misalnya warna pelangi, bisa dirumuskan sebagai me-ji-ku-hi-bi-ni-u misalnya, yaitu akronim merah,jingga,kuning,hijau,biru,nila dan ungu.
Jika anak-anak selama ini takut dengan soal hitung menghitung, mungkin penemuan Bahrudin bisa membantu. Pria paruh baya itu menemukan metode “jari aljabar”.Metode ini adalah memakai jari-jari sebagai lambang-lambang angka. Dengan metode jari aljabar yang sudah dipatenkan itu, memudahkan anak didik menghitung, mengurangi atau mengkalikan maupun membagi. “Awalnya saya dianggap orang stress ketika mencoba menemukan metode ini. Karena saya melakukan menghitung dengan jari itu ketika sedang santai di teras rumah,”ujar Bahrudin.
Sementara itu apa yang dilakukan Muhamad Yusuf patut diapresiasi. Guru SMA Martia Bhakti, Bekasi, Jawa Barat itu sebelumnya prihatin dengan kondisi murid-muridnya yang takut dengan pelajaran fisika. Setelah memutar otak, Muhamad Yusuf kemudian menciptakan beberapa alat peraga seperti ruangan yang disulap seperti planetarium. “Jadi murid-murid saya akan mudah memahami ketika saya mengajar tentang tata surya,” kata Muhamad Yusuf menerangkan. Selain itu, Yusuf juga menciptakan helm sepeda motor yang bisa berfungsi sebagai charger telepon genggam. Murid-murid, kata Yusuf, lebih senang belajar dengan apa yang mereka sukai. Yusuf mengaku, tidak keberatan dan tidak merasa repot ketika membuat alat peraga ini. Walau tidak diharuskan membuat sejumlah alat peraga itu, ia akan dengan senang hati akan terus membuat, walau untuk menyiapkan sejumlah alat peraga itu ia harus merogoh koceknya sendiri.
Apa yang dilakukan para guru di atas hendaklah patut diapresiasi. Termasuk apa yang dilakukan seorang guru dari Sulawesi Selatan, Arizenjaya yang mengajarkan pelajaran fisika dengan cara bermain. Begitu juga Herlina yang menemukan cara belajar bahasa Inggris buat anak-anak dengan metode “Easy Reader”.
Mereka mengajar murid-muridnya dengan hati, dan berfikir keras mencari metode yang mudah dan cepat dipahami para siswa. Dengan segala kreatifitas dan pengorbanan mereka hanya punya satu tujuan, mencedaskan anak didik. Mereka bahkan mengesampingkan kesejahteraan dirinya dan keluarganya.