Pada umumnya masyarakat Indonesia menjelang Lebaran atau Idul Fitri, rutin pulang ke kampung halaman alias mudik. Mereka tak peduli betapa pun kesulitan yang dihadapinya untuk mudik Lebaran. Seperti : berdesak-desakkan di kereta, berjubel di bis, dan kemacetan panjang di perjalanan.
Begitu juga kalau memakai sepeda motor dengan resiko kepanasan dan kehujanan. Semua itu dilakukan dalam rangka merayakan Hari Lebaran di kampung halaman, sekaligus untuk ajang silaturahim bersama sanak-keluarga.
Mudik sudah menjadi tradisi di kala Lebaran. Jutaan masyarakat Indonesia yang merantau berbondong-bondong pulang kampung. Mudik atau pulang kampung adalah hal yang dinantikan dan sekaligus merupakan salah satu kebahagiaan tersendiri, karena mereka senantiasa rindu untuk pulang ke asal muasal yaitu kampung halaman serta kangen akan kasih sayang dan belaian kasih kedua orang tua tercinta.
Semangat Lebaran di Kampung
Bukan sekedar budaya masyarakat Indonesia, tapi sudah menjadi bagian dari tradisi atau sebuah peradaban kaum muslimin di Indonesia dan negara asia lainnya, serta sudah menjadi gaya hidup modern orang-orang yang tinggal di daerah perkotaan, yang berasal dari daerah lain, yaitu mudik Lebaran di kampung, bagian dari semangat “Menyambut Hari Raya Idul Fitri”.
Saling mengunjungi antar kerabat, antar tetangga dan teman, adalah bagian dari aktivitas yang rutin dilakukan ketika Lebaran. Dengan aktivitas ini, anggota keluarga dan kerabat saling bertemu, bahkan berkumpul di satu tempat. Para tetangga pun saling berjumpa satu sama lain, juga dengan teman-teman yang dikenal. Berangkat dari semua ini, momentum lebaran tentunya menjadi kesempatan dan kebahagiaan tersendiri bagi kita semua.
Dari mana kata “mudik” bermula. Bagaimana asal-usulnya? Sesekali, menarik juga memahami sebuah kata yang akhirnya menjadi budaya di negeri ini. Boleh jadi, satu-satunya tradisi unik yang dilakukan hampir seluruh orang dalam satu negara, sekaligus sebagai fenomena mengagumkan di mata dunia.
Setiap ahli punya opini sendiri tentang makna kata “mudik”. Kita akan lihat bersama beberapa pandangan tersebut.
Asal Kata Mudik
Mudik berasal dari bahasa Betawi “udik”, yang artinya adalah kampung/desa. Penggunaan kata ini dimulai, dikarenakan pada saat itu begitu banyaknya orang-orang dari Jawa yang pergi mencari nafkah ke Jakarta. Mereka datang dari berbagai daerah di pulau Jawa dan akhirnya menetap di Ibukota kita itu.
Ketika memasuki Hari Lebaran, para pendatang itu akan kembali ke kampung halamannya untuk bertemu dengan keluarga (sekaligus menceritakan betapa “makmurnya” Jakarta). Nah, orang Betawi biasanya menyebut fenomena ini dengan istilah mudik, menuju udik (pulang kampung). Namun, kata ini sekarang tidak ditujukan hanya untuk orang Jawa saja, tetapi semua yang terlibat langsung dengan fenomena mudik ini.
Secara filosofi, kata udik juga berarti hulu sungai, di mana semua aliran air (sumber kehidupan) berawal. Jadi, memang ada kalanya seseorang harus kembali ke daerah asal, sebagai tanda penghargaan dan rasa syukur atas tanah kelahirannya. Namun sering juga, kata udik sering dipakai sebagai bahan ejekan kepada orang-orang kampung yang baru melihat Jakarta. Ada-ada saja.Dalam definis lain pergaulan masyarakat Betawi kata “mudik” juga memiliki arti lain. Mudik dikenal memiliki arti yang berlawanan dengan kata “milir”. Bila mudik berarti pulang, maka milir berarti pergi.
Kata “milir” merupakan turunan dari “belilir” yang berarti: pergi ke Utara. Dulu, tempat usaha banyak berada di wilayah Utara – lihat sejarah Batavia dan Sunda Kelapa. Karena itulah kata “mudik” bermakna: Selatan.
Sehubungan dengan kata ini, pendapat lain mengungkapkan bahwa kaum urban di Sunda Kelapa sudah ada sejak abad pertengahan. Orang-orang dari luar Jawa mencari nafkah ke tempat ini, menetap dan pulang kembali ke kampungnya saat hari raya Idul Fitri tiba. Karena itulah, kata “mudik” dalam istilah Betawi juga mengartikan “menuju udik” (pulang kampung).
Mudik, budaya Agraris?
Ada pula pendapat mengatakan mudik merupakan tradisi primordial masyarakat petani Jawa. Mereka sudah mengenal tradisi ini bahkan jauh sebelum Kerajaan Majapahit berdiri.
Biasanya tujuan pulang kampung untuk membersihkan pekuburan dan doa bersama kepada dewa-dewa di kahyangan untuk memohon keselamatan kampung halamannya yang rutin dilakukan sekali dalam setahun.
Tradisi ‘nyekar’ masih terlihat hingga kini. Kebiasaan membersihkan dan berdoa bersama di pekuburan sanak keluarga sewaktu pulang kampung masih banyak ditemukan di daerah Jawa.
Mudik ada sejak nenek moyang?
Bagaimana dengan pernyataan bahwa mudik telah ada sejak zaman nenek moyang? Beberapa ahli mengaitkan tradisi mudik ada, karena masyarakat Indonesia merupakan keturunan Melanesia yang berasal dari Yunan, Cina. Sebuah kaum yang dikenal sebagai pengembara. Mereka menyebar ke berbagai tempat untuk mencari sumber penghidupan.
Pada bulan-bulan yang dianggap baik, mereka akan mengunjungi keluarga di daerah asal. Biasanya mereka pulang untuk melakukan ritual kepercayaan atau keagamaan. Pada masa kerajaan Majapahit, kegiatan mudik menjadi tradisi yang dilakukan oleh keluarga kerajaan. Sejak masuknya Islam, mudik dilakukan menjelang Lebaran.
Mudik dalam kajian bahasa Arab
Untuk menguatkan akar mudik berkaitan dengan tradisi islami, beredar pula argumen makna mudik dalam kajian ala timur-tengah.
Kata “mudik” seperti istilah arab untuk “badui” sebagai lawan kata “hadhory”. Sehingga dengan sederhana bisa diambil kesimpulan bahwa mudik, adalah kembali ke kampung halaman.
Mudik dari akar kata “ adhoo-a” yang berarti “ yang memberikan cahaya atau menerangi”
Ini bisa dipahami dengan mudah, bahwa mereka para pemudik itu secara khusus memberikan ‘cahaya’ atau menerangi kampung-kampung halaman mereka.
Mudik dari akar kata “ Adhoo-‘a”, yang berarti “ yang menghilangkan “
Selanjutnya, mudik berasal dari bahasa arab yang berarti : orang yang menghilangkan. Hal ini juga akan mudah kita tangkap, bahwa mereka pemudik itu adalah orang-orang perantauan yang dipenuhi beban perasaan kerinduan, dan kesedihan karena jauh dari orangtua, keluarga atau kampung halamannya. Karenanya mereka melakukan aktifitas mudik , dalam rangka ‘menghilangkan’ semua kesedihan tersebut.
Mudik dari akar kata “ adzaa-qo” yang berarti “ yang merasakan atau mencicipi “
Orang yang mudik ke kampung halaman pastilah mereka yang ingin kembali ‘merasakan dan mencicipi’ suasana kampung tempat kelahiran.
Nah, sekarang kami akan menyarikan apa yang pernah ditulis oleh budayawan, sastrawan, guru besar Jakob Sumardjo. Buat kamu yang belum mengenalnya dan ingin berkenalan dengan tulisannya, coba dulu baca yang paling populer “Olenka”. Ia juga populer sebagai kolumnis yang kerap dimuat di koran-koran nasional.
Kata “mudik” mengartikan “hulu”.
Pada zaman pramodern hanya dikenal komunikasi sosial lewat sungai. Hampir semua hunian tua di Indonesia selalu berada di tepi sungai. Karena sungai merupakan sarana komunikasi dan transportasi yang vital, maka dikenal adanya istilah arah hulu dan hilir, mudik dan muara.Pada waktu itu, kalau orang mengatakan mau mudik, jelas artinya mau pergi ke hulu. Dan kalau mau ke hilir, berarti mau ke arah muara. Orang yang menuju ke hulu dapat berarti “naik”, “munggah”, “pulang”, “ke hutan”, “ke kebun”, “ke bukit”, “ke kampung”. Sedangkan orang yang menuju ke hilir dapat berarti pergi, “keluar”, “ke pasar”, “merantau”, “kerja”.
Dengan demikian arah hulu lebih bermakna “perempuan” dan hilir bermakna “lelaki”. Perempuan adalah hulu adalah rumah adalah kampung halaman. Lelaki adalah hilir adalah luar adalah asing, atau rantau.Dengan pola pikir yang demikian itu, munggah dan mudik maknanya sama, yakni kembali ke ibu, ke kampung halaman, ke nenek moyang, ke asal adanya, ya kembali ke fitrahnya. Begitulah kesadaran kolektif bangsa ini sejak zaman dahulu kala, yakni tidak pernah melupakan jati dirinya, asal usulnya, nenek moyangnya, kampung halaman tempat ia dilahirkan. Manusia Indonesia, khususnya di Pulau Jawa, dalam hubungan munggah dan mudik ini, selalu ingat asal usulnya, indungnya, sangkan paran atau asal dan tujuan hidup ini.
Mengapa identik dengan Lebaran?
Di zaman purba Indonesia ada upacara setiap tahun yang bermakna manunggal dengan nenek moyang sebuah komunitas. Sisa-sisa upacara demikian masih lestari dalam bentuk bersih desa, ngalaksa, seren taun, ngarot dan banyak lagi.
Dalam upacara-upacara semacam itu dilakukan penyatuan manusia sebagai mikrokosmos dengan alam sebagai makrokosmos dan arwah nenek moyang berupa mitos-mitos sebagai metakosmos.
Rangkaian upacaranya mulai dari mandi bersama (bersih badan), pantang dan puasa, ziarah kubur, seni pertunjukan yang mementaskan kisah mitologi nenek moyang pendiri wilayah, dan akhirnya makan bersama atau kenduri. Tempatnya bisa di tanah lapang, di balai desa, di leuwi, di mata air, di kuburan desa.
Dalam upacara-upacara tahunan semacam itulah seluruh penduduk kampung kumpul bersama, tua atau muda atau kanak-kanak.
Upacara menyatukan diri seluruh penduduk kampung dengan makrokosmos dan metakosmos ini, dapat bermakna sangkan-paran atau kembali menyatu dengan yang asal. Mereka sedang munggah atau mudik. Kembali ke indung asal kehidupan ini. Kembali ke Sang Pencipta dengan seluruh warga yang masih hidup maupun yang sudah meninggal.
Ketika agama Islam dipeluk oleh bangsa Indonesia, maka sisa-sisa ritual primordial ini tidak dilenyapkan karena sudah merupakan bagian dari arketip budayanya. Kalau tidak melakukan, mereka merasa ada yang hilang dari bagian dirinya sebagai kelompok.
Padanan untuk itu adalah bulan puasa bagi umat Islam, atau puncaknya pada hari Lebaran. Tradisi manusia Indonesia untuk nyekar atau menebar bunga di kuburan nenek moyang, mandi bersama di pantai atau di sungai desa, mengirim makanan bagi sanak saudara, yang semua itu dilakukan sebelum bulan puasa, adalah inkulturisasi Islam terhadap budaya sebelumnya.
Tradisi mudik yang selalu dikaitkan dengan Lebaran dalam konteks sudut pandang yang lain juga muncul pada awal pertengahan dasawarsa 1970-an, ketika Jakarta tampil sebagai salah satu kota besar di Indonesia yang mengalami kemajuan luar biasa. Jakarta di bawah kepemimpinan Gubernur Ali Sodikin (1966-1977), berhasil disulap menjadi kota Metropolitan.
Bagi penduduk kota-kota lain, terutama orang-orang udik (desa), Jakarta menjelma menjadi kota impian, Jakarta menjadi tempat penampungan orang-orang udik yang di kampung tidak beruntung dan di Jakarta seolah-olah akan kaya. Lebih dari 80% para urbans ini datang ke Jakarta hanya untuk mencari pekerjaan. Di Jakarta eksistensi mereka tenggelam, sementara legitimasi sosial atas keberadaan mereka juga tak kunjung datang. Itulah sebabnya kehadiran mereka di Jakarta akan dapat memenuhi harapan hidupnya.
Lebaran adalah momentum yang tepat untuk itu, sebab pada hari lebaran ada dimensi keagamaan, ada legitimasi seolah-olah Lebaran adalah waktu yang tepat untuk berziarah. Mudik ke kampung halaman adalah kamuflase dari semangat memperoleh legitimasi sosial dan menunjukkan eksistensinya.
Itulah awal mula pulang kampung atau mudik menjadi tradisi yang seolah-olah mempunyai akar budaya. Jadi ada juga yang berpendapat, tradisi mudik lebih disebabkan oleh problem sosial dan sama sekali tidak didasarkan oleh akar budaya. Sebagian besar para pemudik itu adalah kelompok masyarakat menengah ke bawah yang ingin menunjukkan kepada masyarakat desanya seolah-olah di Jakarta mereka telah mencapai sukses.
Hal tersebut merupakan akibat sistem pemerintahan yang sentralistik dan Jakarta sebagai pusat segala-galanya pada waktu itu. Mengingat para pemudik sebagian besar adalah mereka yang belum dapat tinggal dan hidup mapan di Jakarta, maka mudik Lebaran menjadi momentum penting bagi mereka untuk melegitimasi keberadaannya di Ibukota, menurutnya mereka telah mencapai sukses secara materi maupun sosial.
Terlepas dari latarbelakang munculnya tradisi mudik itu, masalah yang ditimbulkannya dari tahun ke tahun menjelang dan sesudah Lebaran selalu sama. Namun, apapun perdebatan dan perbedaan pendapat mengenai mudik, banyak orang sepakat bahwa mudik adalah bagian dari inkulturisasi Islam dengan budaya – budaya lokal sebelumnya. (Dari Berbagai Sumber)